Angka pengangguran secara nasional lebih dari 9 juta jiwa dari total angkatan kerja. Sebagai salah cara mengurangi angka pengangguran dan kemiskinan, adalah dengan mengandalkan sektor UKM, karena dengan jumlah UKM sebanyak 44 juta unit, diharapkan dapat menyerap tenaga kerja hampir 77 juta jiwa atau sekitar 70 persen dari total angkatan kerja. Persentase jumlah usaha kecil dan menengah (UKM) terhadap jumlah badan usaha di Indonesia sangat besar, yaitu sekitar 99 persen. Namun kenyataannya berdasarkan data tahun 2006, pertumbuhan jumlah sektor UKM mengalami penurunan, yang hanya 3,88 persen, jika dibandingkan dengan pertumbuhan usaha besar, 5,77 persen.
Kondisi seperti ini sebenarnya sangat memprihatinkan mengingat sektor UKM memiliki potensi penyerapan tenaga kerja yang sangat besar. Lalu apa yang harusnya dilakukan untukpengembangan UKM di Indonesia, menjadi sebuah pertanyaan dan harus ditemukan solusinya. Sebuah Usaha tentunya memerlukan
permodalan yang baik dan memadai. Hal ini pula yang berlaku pada UKM. Komposisi modal UKM biasanya didominasi oleh modal sendiri atau pribadi, dengan jumlah terbatas. Dalam rangka pengembangan bisnis dan pangsa pasar, termasuk untuk ekspor, UKM jelas membutuhkan pembiayaan yang relatif besar.
permodalan yang baik dan memadai. Hal ini pula yang berlaku pada UKM. Komposisi modal UKM biasanya didominasi oleh modal sendiri atau pribadi, dengan jumlah terbatas. Dalam rangka pengembangan bisnis dan pangsa pasar, termasuk untuk ekspor, UKM jelas membutuhkan pembiayaan yang relatif besar.
Di sinilah salah satu permasalahan utama, mengapa UKM sangat sulit berkembang menjadi usaha besar, karena terganjal permasalahan pembiayaan. Khusun untuk pembiayaan eksporternyata bank yang merupakan salah satu lembaga dimana UKM, bisa mendapatkan kredit perbankan ataupun suntikan dana, ternyata dalam prakteknya lebih tertarik membiayai kredit konsumsi dibanding kredit ekspor. Untuk kredit konsumsi, bank memberikan suku bunga 17%. Sedangkan, suku bunga kredit kepada eksportir hanya 12%-13%, akhirnya bank lebih senang memberikan pembiayaan kartu kredit, dan ini juga berlaku hampir semuabank.. Akhirnya, eksportir lebih banyak mendapatkan sumber dana nonpembiayaan., Berkaitan dengan ekspor dan impor, dalam kondisi perbankan tidak bisa optimal memberikan pembiayaan, idealnya harus ada lembaga lain yang fokus dalam pembiayaan ekspor. Praktiknya, sekarang, bank tidak memberikan kredit investasi, juga tidak memberikan kredit ekspor. Keminiman dukungan pembiayaan terhadap kegiatan ekspor menjadikan ekspor belum optimal. Perbankan yang diharapkan dapat berada pada garis terdepan dalam mendukung ekspor ternyata belum optimal menyokong kegiatan ekspor,padahal, tanpa dukungan lembaga perbankan, sulit bagi para pelaku ekspor memperoleh fasilitas pembiayaan, penjaminan, dan asuransi dalam kegiatan ekspor. Data menunjukkandari total kredit perbankan di Indonesia yang sekitar Rp1.000 triliun per Oktober 2007,ternyata hanya sekitar Rp30 triliun yang ditujukan untuk mendukung kegiatan ekspor. Kredit ekspor hanya menempati urutan ketiga setelah kredit modal kerja dan kredit konsumsi. Kondisi inilah sebenarnya yang menuntut adanya kehadiran Lembagapembiayaan ekspor Indonesia (LPEI) menjadi elemen yang mutlak diperlukan bila hendakmengembangkan investasi dan ekspor Indonesia, khususnya bagi sector Usaha Mikro Kecil Menengah, yang seringkali memiliki akses yang terbatas terhadap modal ekspor. Lembaga ini nantinya tidak hanya berfungsi sebagai lembaga pemberi bantuan dana yang mengkhususkan diri pada industri dan perdagangan ekspor, namun juga memberikan dukungan terhadap pembiayaan bersama (club-deal/sindikasi), subordinated loans,penjamin dan atau asuransi serta jasa konsultasi (termasuk studi dan penilaian proyek-proyek industri ekspor). Untuk dapat berperan dan berfungsi secara efektif, LPEI perlu beroperasi berdasarkan undang-undang tersendiri dengan status sebagai lembaga otonomi pemerintah (autonomous sovereign entity). Pembahasan UU LPEI menjadi hal yang mendesak untuk segera diselesaikan. Ada beberapa hal yang menjadi yang krusial terkait dengan LPEI ini, yakni diharapkan bahwa LPEI ini nantinya tidak merusak atau mengambil alih mekanisme pembiayaan ekspor yang sudah ada, tetapi juga justru melengkapi; adanya transparansi pada level implementasinya, memiliki kemandirian dan tidak membebani APBN, dan yang paling penting juga adalah bahwa LPEI harus memprioritaskan UMKM, artinya Pembiayaan diberikan sekurang-kurangnya 50% untuk UMKM dalam bentuk modal kerja dan/atau investasi yang diperuntukkan bagi kegiatan ekspor
DR. Nursanita Nasution, ME
Anggota DPR-RI Komisi VI
Email : nursanita252 @yahoo.com HP 08129699264
0 komentar:
Posting Komentar